Cerita
ini terjadi saat Pandhawa bersama saudara-saudara sepupunya Kurawa,
yangsedang bersama sama menimba ilmu pada guru yang sama yakni Resi
Durna atau Kumbayana. Kurawa yang amat menyadari bahwa tahta kerajaan
Astina yang saat itu diduduki ayah mereka, Destrarastra, adalah sekadar
titipan dari ayah Pandhawa, Pandu Dewanata yang mati muda. Kalaulah
nanti Pandhawa telah dewasa, tahta itu harus dikembalikan kepada
mereka. Dan para saudara Kurawa yang berjumlah seratus itu, bakal
lontang-lantung jadi preman. Karena itu, sejak awal, Kurawa dengan
berbagai jalan berusaha keras untuk melenyapkan Pandhawa,
halus ataupun kasar.
Sebenarnya juga para Kurawa yang muda, berangasan dan pendek akal itu
tidak mampu merancang tindakan, tanpa bantuan sang pemikir, Harya
Sangkuni, atau Arya Suman, adik ibunya Gendari, yang diangkat jadi
Patih kerajaan Astina . Wajar saja, sang Paman juga sangat
berkepentingan akan kelangsungan kekuasaan keponakannya. Kalau saja
Pandhawa dapat menguasai kerajaan, maka ia tidak akan mendapat jatah di
dalam kerajaan. Dengan akal jenius, Patih Sangkuni berhasil membujuk
Resi Durna untuk membantu program Kurawa itu. Melenyapkan Pandhawa!
Sasaran utamanya adalah Raden Wrekudara alias Arya Bimasena dan Raden
Janaka alias Harjuna, 2 orang Pandhawa yang kesaktiannya menyundul
langit itu. Kalau bima dan arjuna sudah tersingkirkan, maka yang lainnya
akan dianggap remeh saja. Untuk saat ini, skala prioritasnya adalah
Sang Bimasena, yang punya posisi strategis di Pandhawa, sebagai Palang
Pintu.
Sang
Bima yang memang sudah menyelesaikan sesi latihan ragawinya kemudian
diutus sang Guru Resi Durna untuk mencari “Tirta Prawitasari”, air
kehidupan, guna menyucikan bathinnya demi kesempurnaan hidupnya. Tirta
itu, harus dicari di hutan Tibaksara di gunung Reksamuka. Ketika
menghadap ibunya, Dewi Kunthi, saudara-saudaranya yang lain
mengingatkan bahwa mungkin ini hanya jebakan Sangkuni Karena hutan itu
sudah terkenal sebagai “alas gung liwang liwung, sato mara, sato mati” (hutan raya tak tertembus, mahluk yang mencoba masuk 99,99% akan mati).
Tapi
Bima berambisius, perintah Guru tidak mungkin ditolaknya meskipun
karena itu dia harus menyerahkan jiwanya. Melihat keteguhan hati
anaknya, sang Ibu akhirnya merestuinya. Sang Bima pun akhirnya
berangkat menjalankan tugas gurunya.
Seluruh hutan sudah dijelajahinya, tapi yang dicari tak ada, malah
membangunkan 2 raksasa penunggu hutan Rukmuka dan Rukmakala yang lagi
enak-enak tidur. Perkelahian segera terjadi dan 2 raksasa itu terbunuh
oleh Sang Bima. Menyadari bahwa
yang dicarinya tidak ada, Sang Bima kembali menghadap gurunya. Gurunya
yang semula kaget, mengapa Sang Bima bisa keluar hidup-hidup dari hutan
Tibaksara itu, lalu menyuruh untuk melakukan yang lebih sulit. Tirta
Prawitasari itu harus dicari di kedalaman lautan! Tanpa banyak bertanya
apalagi meragukan perintah sang Guru, Sang Bimasena pun langsung
berangkat.
Seisi
lautan diaduknya, seekor Naga yang menghalangi jalannya
disingkirkannya, tapi yang dicarinya tidak juga ketemu. Ditengah
kebingungannya, dia menemukan mahluk serupa dirinya dalam ukuran yang
lebih kecil, yang meniti ombak lautan, mendekati dirinya. Mahluk itu
memperkenalkan dirinya sebagai Sang Dewa Ruci, sang suksma sejatinya,
dirinya yang sebenarnya. Pembicaraan inilah yang menjadi inti cerita
ini, singkat cerita akhirnya Sang Bimasena masuk ke dalam wadag Sang
Dewa Ruci melalui kuping kirinya, dan mendapat penjelasan tentang hidup
sejatinya.
Lambang, pitutur, petuah, esensi cerita
Untuk mendapatkan “inti pengetahuan sejati” (Tirta Prawitasari) Sang Bima harus menempuh ujian fisik dan mental sangat berat, (Hutan Tibaksara “tajamnya cipta“; Gunung Reksamuka, “pemahaman mendalam“). Sang Bimasena tidak akan mampu menuntaskannya tanpa membunuh raksasa Rukmaka “kamukten, kekayaan” dan Rukmakala “kemuliaan” . Tanpa mengendalikan nafsu dunianya dalam batas maksimum.
Perjalanannya menyelam ke dasar laut diartikan dengan “samodra pangaksami” pengampunan. Membunuh Naga yang mengganggu jalannya simbol dari melenyapkan kejahatan dan keburukan diri.
Pertemuannya
dengan Sang Dewa Ruci melambangkan bertemunya Sang Wadag dengan Sang
Suksma Sejati. Masuknya wadag Bima kedalam Dewa Ruci dan menerima Wahyu
Sejati bisa diartikan dengan “Manunggaling Kawula-Gusti“,
bersatunya jati diri manusia yang terdalam dengan Penciptanya.
Kemanunggalan ini mampu menjadikan manusia untuk melihat hidupnya yang
sejati.
Dikutif dari : http://www.ceritadewata.blogspot.com
Posted by 05.14 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anybody is welcome to join tanpa membedakan latar belakang suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, usia, orientasi seksual, dan difabelitas.