Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan.
Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Dalam lontar Purana Bali Dwipa, Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama
adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15,
tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah.
Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya , pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan.Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan.
Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya , pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan.Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan.
Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali,
setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini
bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.Dalam lontar tersebut
diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran
mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek.
Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan
tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Para Dewa.
Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura
Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu
mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durga (Dewi Durgha), sakti dari Dewa Siwa.
Dalam pawisik itu Dewi Durgha
menjelaskan kepada raja bahwa
leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.
Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali
merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi
yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat
Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah
melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan
kekuatan negatif (
Buta Kala)
dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu
mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat
dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Makna Filosofis Galungan
, adalah menyatukan kekuatan rohani agar
mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan
pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma.
Dari konsepsi lontar Sundarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat
Galungan adalah merayakan
menangnya dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan).
Sugihan Jawa dan Bali
, untuk memenangkan dharma itu ada
serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan.
Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.
Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar.
Sugihan Jawa
bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia.
Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari
sebelum Galungan.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu
merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian
Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci.
Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya
menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri.
Kata bali dalam
bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Pada
Redite (minggu) Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala
Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut
dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan.
Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Penyajan Galungan, jatuh pada
hari Senin Pon Dungulan.Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan
samadhi melakukan pemujaan.Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning sang
ngamong yoga samadhi." Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan
Penampahan Galungan.
Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan
dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala
lara melaradan.Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban.
Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma.
Umat
pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat
hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara
sambil bergembira-ria.
Manis Galungan
Setelah
hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat
pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat
hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara
sambil bergembira-ria.
Pemaridan Guru
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur.
Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan
canang meraka dan matirta gocara. Upacara Yadnya tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Penjor
Hiasan-hiasan merupakan bejenis-jenis daun seperti daun cemara,
andong, paku pipid, pakis aji dll. Untuk buah-buahan mempergunakan padi,
jagung, kelapa, ketela, pisang termasuk pala bungkah, pala wija dan
pala gantung, serta dilengkapi dengan jajan, tebu dan pis bolong, demikian pengertian dan hiasan yang digunakan dalam kutipan artikel Penjor dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia yang juga dijelaskan bahwa, tujuan pemasangan penjor di jaba pura maupun lebuh umah sebagai swadharma umat Hindu untuk mewujudkan rasa bakti dan berterima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Penjor juga sebagai tanda terima kasih manusia atas kemakmuran yang dilimpahkan Ida Sang Hyang Widi Wasa.
Bambu tinggi melengkung adalah gambaran dari gunung yang tertinggi sebagai tempat yang suci. Hiasan yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, padi, jajan dan kain adalah merupakan wakil-wakil dari seluruh tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikarunia oleh Hyang Widhi Wasa.
Umat Hindu di Bali pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor. Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa / Dina Anggara wara / wuku Dungulan yang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma (kebaikan).
Penjor Galungan dipasang atau ditancapkan pada lebuh di depan
sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Bila rumah menghadap ke utara maka
penjor ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah
dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Bahan penjor
adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan
janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa).
Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela
rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll),
Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra
lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan
penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan sanggah cucuk,
sebagai lambang Hyang Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan
bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran
sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.
Unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga mencerminkan adanya nilai-nilai etika agama. Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
- Kain putih, yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
- Bambu, sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
- Kelapa, sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
- Janur, sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa
- Daun-daunan (plawa), sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
- Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
- Tebu, sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
- Sanggah Ardha Candra, sebagai simbol kekuatan Hyang Siwa.
- Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Sehingga sebagaimana pula disebutkan, penggunaan lamak pada penjor dilengkapi dengan simbol - simbol : gunungan, cili-cilian, bulan, bintang, matahari dan sebagainya.
Posted by 22.10 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anybody is welcome to join tanpa membedakan latar belakang suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, usia, orientasi seksual, dan difabelitas.