Agama Hindu disebut pula dengan Hindu Dharma, Vaidika Dharma ( Pengetahuan Kebenaran) atau Sanatana Dharma ( Kebenaran Abadi ). Untuk pertama kalinya Agama
Hindu berkembang di sekitar Lembah Sungai
Sindhu di India. Agama Hindu adalah agama yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, yang diturunkan
ke dunia melalui Dewa Brahma sebagai
Dewa Pencipta kepada para Maha Resi
untuk diteruskan kepada seluruh umat manusia di dunia.
Ada tiga kerangka dasar yang
membentuk ajaran agama Hindu, ketiga
kerangka tersebut sering juga disebut tiga aspek agama Hindu. Ketiga kerangka
dasar itu antara lain :
1. Tattwa, yaitu pengetahuan tentang filsafat agama.
2. Susila, yaitu pengetahuan tentang sopan santun, tata krama.
3. Upacara, yaitu pengetahuan tentang yajna, upacara agama.
2. Susila, yaitu pengetahuan tentang sopan santun, tata krama.
3. Upacara, yaitu pengetahuan tentang yajna, upacara agama.
Di dalam ajaran Tattwa di diajarkan
tentang “ Sradha “ atau kepercayaan. Sradha dalam agama Hindu jumlahnya ada
lima yang disebut “ Panca Sradha “. Jadi Panca Sradha adalah Lima kepercayaan
yang dimiliki oleh umat Hindu yang di wahyukan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa
diturunkan ke dunia melalui Dewa Brahma, kepada para Maha Resi, untuk
disebarkan kepada umat Hindu di dunia.
Bagian- Bagian Panca Sradha
Panca Sradha terdiri dari :
a. Brahman : artinya percaya akan adanya Sang Hyang Widhi.
b. Atman : artinya percaya akan adanya Sang Hyang Atman.
c. Karman : artinya percaya akan adanya hukum karma phala.
d. Samsara : artinya percaya akan adanya kelahiran kembali.
e. Moksa : artinya percaya akan adanya kebahagiaan rohani.
Untuk menciptakan kehidupan yang
damai seseorang wajib memiliki sradha (kepercayaan) yang mantap. Seseorang yang
sradhanya tidak mantap hidupnya menjadi ragu, canggung, dan tidak tenang dan
juga akan terombang ambing.
Cobalah perhatikan kegelisahan dan
ketakutan seorang anak di arena sirkus. Anak kecil menjerit ketakutan ketika
disuruh bersalaman dengan seekor harimau, walaupun di dampingi oleh seorang
Pawang. Tidak lain dan tidak bukan karena anak kecil itu belum mempunyai
kepercayaan penuh bahwa harimau itu akan jinak dan telah terlatih oleh
pawangnya. Jadi kesimpulannya kepercayaan yang mantap dapat menciptakan
ketenangan dan apabial kepercayaan tersebut tidak ada maka semuanya akan terasa
menakutkan.
Brahman (Sang Hyang Widhi Wasa )
Ada beberapa kata
yang berkaitan dengan Brahman itu yaitu akar brh-. Ada dua kata yang dieja secara sama, tetapi dengan aksen
yang berbeda. Kedua kata itu
adalah brhman dan brahmn (nominatif tunggal dari brahma.
Brhman, jenis netral, mempunyai arti “ucapan suci.” Brahmn, jenis
maskulin, mempunyai arti pertama-tama “dia yang memperoleh kuasa dari ucapan
atau sabda suci,” dan yang demikian itu bisa berupa dewa atau pun manusia. Sang
brahmn dewani mengkristal dalam sosok tunggal yang mempergunakan nama
tersebut. Para Orientalis lebih suka menyebutnya Brahma (dengan
menggunakan nominatif tunggal dan bukan akar kata tersebut untuk menghindari
kesalahpahaman). Dalam sistem di kemudian hari Brahma akan dikenal sebagai dewa
pencipta par excellence. Namun brahmn dapat juga dikenakan
untuk manusia – seorang Brahmin atau Brahman – tetap dalam arti ini kata
tersebut pelan-pelan diganti oleh kata Brahmana, yakni seorang anggota
dari kelas tertinggi, kelas para imam. Kata Brahman juga merupakan
nama untuk teks-teks ibadat kurban dalam induk kitab Veda.
Penjelasan
filologis atas kata Brahman kiranya relevan di sini. Penjelasan tersebut tidak
saja karena hal itu boleh diharapkan untuk menjernihkan pikiran kita, tetapi
juga karena hal itu memberikan gambaran tentang cara-cara bagaimana, bukan
hanya mungkin, malahan logis, kaum Brahmana dari periode di kemudian hari harus
dianggap sebagai dewa-dewa di antara manusia. Pada mulanya mereka hanyalah
imam-imam biasa yang diberi kepercayaan untuk membacakan kitab Veda,
sabda-sabda suci. Setelah brhman menjadi mapan sebagai dasar yang
tidak berubah dan abadi dari semesta alam, arti penting kaum Brahmana secara
harafiah mendapatkan keabadian pula. Dari “ucapan suci”, brhman memperoleh
arti yang lebih umum “kekuatan suci” sebagaimana adanya: “yang mengenal brhman
dalam diri manusia, mengenal tuhan yang mahatinggi”. Brhman dalam
manusia dengan demikian sama dengan brhman dalam Tuhan. Yang sangat
berarti dalam hal perkembangan gagasan mengenai brhman adalah madah
dari Atharva-Veda, 10.2:
Brahman bekerja dalam dunia melalui Trimurti:
Brahma, Shiva dan Vishnu. Ketiganya adalah prinsip atau potensi yang berusaha
saling memisahkan. Brahma, “Tuhan
yang riel”, merupakan Tuhan masa lampau, Tuhan yang hilang dan lupa tanpa
gambar-gambar dan kuil-kuil. Śiva mendominasi kesadaran India. Ia adalah
prinsip yang merusak, tetapi bukan dalam suatu pengertian yang jahat: Ia
membinasakan Brahma, yang adalah kekuatan dari prinsip nyata (real) yang
menahan manusia dalam perbudakan. Visnu tampaknya memperbaiki kesatuan yang
hilang dan rusak tersebut. Visnu meniadakan Śiva dan fungsi-fungsi sebagai
prinsip yang pada dasarnya sektarian dan memecah belah.
Percaya
terhadap Tuhan, mempunyai pengertian yakin dan iman terhadap Tuhan itu sendiri.
Yakin dan iman ini merupakan pengakuan atas
dasar keyakinan bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada,
Maha Kuasa, Maha Esa dan Maha segala-galanya. Tuhan Yang Maha Kuasa, yang
disebut juga Hyang Widhi (Brahman), adalah
ia yang kuasa
atas
segala yang
ada
ini. Tidak
ada
apapun yang luput dari Kuasa-Nya. Ia sebagai pencipta, sebagai pemelihara dan
Pelebur
alam
semesta dengan segala isinya. Tuhan adalah
sumber dan
awal
serta akhir
dan pertengahan dari segala yang ada.
Didalam Weda (Bhagavad Gita), Tuhan (Hyang Widhi) bersabda mengenai hal ini,
sebagai berikut:
Tuhan
(Hyang Widhi), yang bersifat Maha Ada, juga berada disetiap mahluk hidup,
didalam maupun doluar dunia (imanen dan transenden). Tuhan (Hyang Widhi)
meresap disegala tempat dan ada
dimana-mana (Wyapi Wyapaka), serta tidak berubah dan kekal abadi
(Nirwikara). Di dalam Upanisad (k.U. 1,2) disebutkan bahwa Hyang Widhi adalah
“telinga dari semua telinga, pikiran dari segala pikiran, ucapan dari segala
ucapan, nafas dari segala nafas dan mata dari segala mata”, namun Hyang Widhi
itu bersifat gaib (maha suksma) dan abstrak
tetapi ada.
Walaupun amat
gaib, tetapi Tuhan hadir dimana-mana. Beliau bersifat wyapi-wyapaka, meresapi
segalanya. Tiada suatu tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliau ada
disini dan berada disana Tuhan memenuhi jagat raya ini.
Kendatipun
Tuhan itu selalu hadir dan meresap di segala tempat, tetapi sukar dapat dilihat
oleh mata biasa. Indra kita hanya dapat menangkap apa
yang dilihat, didengar, dikecap dan dirasakan. Kemampuannya terbatas, sedangkan
Tuhan (Hyang Widhi)
adalah
Maha Sempurna dan tak terbatas.
Tuhan
Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, yang tak terjangkau oleh pikiran, yang gaib
dipanggil dengan nama sesuai dengan jangkauan pikiran, namun ia hanya satu,
Tunggal
adanya.
Karena
Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam
sesuai dengan kemampuannya. Tuhan yang Tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan
banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta,
Wisnu sebagai pemelihara dan Ciwa sebagai pelebur/pemralina. Banyak lagi
panggilannya yang lain. Ia maha tahu, berada dimana-mana. Karena itu tak ada apapun
yang dapat kita sembunyikan dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan
bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang
menyerahkan diri, mohon perlindungan dan petunjuk-Nya agar
ia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini.
Brahman ( Percaya akan adanya Hyang
Widhi ), Hyang Widhi adalah yang menakdirkan, maha kuasa, maha kekal, tanpa
awal dan akhir dan pencipta semua yang ada yang disebut “ Wyapi Wyapaka Nirwikara “ . Kita percaya bahwa beliau ada, meresap
di semua tempat dan mengatasi semuanya yang disebut Wyapaka.
Di dalam kitab Brahman Sutra dinyatakan
“ Jan Ma Dhyasya Yatah “ artinya
Hyang Widhi adalah asal mula dari semua yang ada di alam semesta ini. Dari
pengertian tersebut bahwa Hyang Widhi adalah asal dari segala yang ada. Kata
ini diartikan semua ciptaan, yaitu alam semesta beserta isinya termasuk Dewa –
dewa dan lain – lainnya berasal dan ada di dalam Hyang Widhi. Tidak ada sesuatu
di luar diri beliau. Penciptaan pemeliharaan dan peleburan adalah kekuasaan
beliau.
Agama Hindu mengajarkan bahwa Sang
Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa
tidak ada duanya. Hal ini dinyatakan dalam beberapa kitab Weda antara lain :
a. Dalam Chandogya Upanishad dinyatakan
: “ Om tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman “ artinya Hyang Widhi hanya satu
tak ada duanya dan maha sempurna.
b. Dalam mantram Tri Sandhya tersebut
kata – kata :“ Eko Narayanad na Dwityo
Sti Kscit “ artinya hanya satu Hyang Widhi dipanggil Narayana, sama sekali
tidak ada duanya.
c. Dalam Kitab Suci Reg Weda
disebutkan “ “ Om Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti “ artinya Hyang Widhi itu hanya
satu, tetapi para arif bijaksana menyebut dengan berbagai nama.
d. Dalam kekawin Sutasoma
dinyatakan : Bhineka Tunggal Ika Tan Hana
Dharma Mangrwa artinya berbeda – beda tetapi satu, tak ada Hyang Widhi yang
ke dua.
Dengan pernyataan – pernyataan di
atas sangat jelas, umat Hindu bukan menganut Politheisme, melainkan umat Hindu menganut Monotheisme yaitu mengakui dan percaya dengan adanya satu Hyang
Widhi atau Tuhan Yang maha Esa.
Hindu sangat lengkap, dan fleksibel.
Tuhan dalam Hindu di insafi dalam 3 aspek utama, yaitu Brahman ( Yang tidak terpikirkan ), Paramaatma ( Berada dimana-mana dan meresapi segalanya ), dan Bhagavan ( berwujud ).
3.4 Atman (Sang Hyang Atma)
Atman ( Percaya akan adanya Sang
Hyang Atma ). Di dalam weda
Parikrama disebutkan : “Eko Devah sarva
bhutesu, gudhah sarva vyapim sarva bhutaratma Karma, dhyaksah sarva
bhutadiwasah. Saksi ceto. Kevalonirgnasca”
yang artinya Satu zat yang bersembunyi dalam setiap makhluk yang mengisi
semuanya yang merupakan jiwa bathin semua makhluk raja dari semua perbuatan
yang tinggal dalam semua makhluk saksi yang hanya terdapat dalam pikiran
saya.
Jadi atma adalah percikan kecil dari
Paramaatma (tuhan) yang berada disetiap makhluk hidup. Atma berasal dari Hyang
Widhi yang memberikan hidup kepada semua makhluk. Atma atau Sang Hyang Atma
disebut pula Sang Hyang Urip yang
berarti Sang Hyang yang memberikan nyawa. Manusia, hewan dan tumbuhan adalah
mahluk hidup yang terjadi dari dua unsur yaitu badan dan atma. Badan adalah
kebendaan yang terbentuk dari lima unsur kasar yaitu Panca Maha Butha. Di dalam badan melekat indria yang jumlahnya
sepuluh ( Dasa Indria ).
Mengenai keberadaan atma itu,
dijelaskan dalam kitab suci sebagai berikut :
1.
Sariram brahma pravisat sarire-adhi prajapatih.
(atharwa
weda XI. 8.30 )
Sang
hyang Widhi Wasa memasuki tubuh manusia dan dia menjadi raja tubuh itu.
2.
Iyam kalyani ajara martyasyaamerta grahe
(atharwa
weda X. 8. 26)
Dewa
yang kekal dan bertuah itu bertempat tinggal didalam tubuh manusia yang fana.
3.
Na jayate mriyate va kadachin ,shavitava na yambhutva va na
bhuyah,ajo nityah sasvato yam purano,na hayate hanyamane sarire
(bhagawadgita
II.20.23)
Ia
tidak pernah lahir pun juga tidak pernaah mati kapanpun, pun juga tidak pernah
muncul dan lagi tidak pernah menghilang. Ia adalah tidak mengenal kelahiran,
kekal, abadi dan selalu ada. Ia tidak dapat di bunuh bila badan di bunuh.
4.
Aham atma gudakesa,sarvabhutasyasthitah aham adis cha
madhyam cha, butanam anta eva cha.
(bhagawadgita
X. 20 )
Oh arjuna,
aku adalah atman yang menetap dalam hati semua mahluk, aku adalah permulaan,
pertengahan, dan akhir dari semua mahluk.
Atma adalah yang menghidupkan mahluk itu sendiri, sering juga disebut badan halus . Atma yang menghidupkan badan manusia disebut “ Jiwatman “ atau “ Swatman “ . Badan dengan atma ini bagaikan hubungan Kusir dengan Kereta. Kusir adalah atma, dan kereta adalah badan. Indria yang ada pada badan kita tidak akan ada fungsinya apabila tidak ada atma. Misalnya, mata tidak dapat digunakan untuk pengelihatan jika tidak dijiwai oleh atma. Telinga tidak dapat digunakan untuk pendengaran jika tidak dijiwai oleh atma. Oleh karena itu Atma merupakan bagian dari tuhan yang sifatnya sangat gaib (Parama Sukma), tidak pernah mengalami kelahiran dan kematian (Najayate naha niyamane)
Atma yang berasal dari Hyang Widhi
mempunyai sifat “ Antarjyotih “ (
bersinar tidak ada yang menyinari, tanpa awal dan tanpa akhir, dan sempurna ).
Dalam kitab Bhagawandgita disebut sifat – sifat atma sebagai berikut
:
- Achodyhya artinya tak
terlukai oleh senjata
- Adahya artinya tak terbakar
oleh api
- Akledya artinya tak
terkeringkan oleh angin
- Acesyah artinya tak terbasah
oleh air
- Nitya artinya abadi, kekal
- Sarwagatah artinya ada dimana
– mana
- Sthanu artinya tak berpindah
– pindah
- Acala artinya tak bergerak
- Sanatana artinya selalu sama
- Adyakta artinya tak
terlahirkan
- Achintya artinya tak
terpikirkan
- Awikara artinya tak berjenis
kelamin
Sehubungan dengan hal itu perhatikan
sloka-sloka berikut mengenai atman yaitu
Bhagavad-Gita II sloka 23, 24, dan 25 menyebutkan:
Sloka
|
Artinya:
|
nai'nam
chhindanti sastrani
na chai'nam kledayanty apo na soshayati marutah |
Senjata
tidak dapat melukai Dia
dan api tidak bisa membakar- Nya angin tidak dapat mengeringkan Dia dan air tidak bisa membasahi- Nya |
Achedyo
'yam adahyo 'yam
akledya 'soshya eva cha nityah sarwagatah sthanur achalo 'yam sanatanah |
Dia tidak
dapat dilukai, dibakar
juga tidak dikeringkan dan dibasahi Dia adalah abadi, tiada berubah tiada bergerak, tetap selama- lamanya. |
Awyakto
'yam achintyo 'yam
Awikaryo 'yam uchyate tasmad ewam widitasi 'nam na 'nusochitum arhasi. |
Dia
dikatakan tidak termanifestasikan
tidak dapat dipikirkan, tidak berubah- ubah dan mengetahui halnya demikian engkau hendaknya jangan berduka |
Jelaslah atma itu sifatnya sempurna.
Tetapi pertemuan antara atma dengan badan yang kemudian menimbulkan ciptaan
menyebabkan atma dalam keadaan “ Awidhya
“. Awidhya artinya gelap lupa kepada kesadaran . Awidhya muncul karena
pengaruh unsur Panca Maha Butha yang
mempunyai sifat duniawi. Sehingga dalam hidup ini atma dalam diri manusia di
dalam keadaan awidhya.
Dalam keadaan seperti ini kita hidup
kedunia bertujuan untuk menghilangkan awidhya untuk meraih kesadaran yang
sejati dengan cara melaksanakan Subha
Karma yang artinya perbuatan baik. Menyadari sifat atma yang serba sempurna
dan penuh kesucian menimbulkan usaha untuk menghilangkan pengaruh awidhya tadi.
Karena apabila manusia meninggal kelak hanya badan yang rusak, sedangkan
atmanya tetap ada kembali akan mengalami kelahiran berulang dengan membawa “ Karma Wasana “ yang artinya bekas
hasil perbuatan . Oleh karena itu, manusia lahir kedunia harus berbuat baik
atas dasar pengabdian untuk membebaskan Sang Hyang Atma dari ikatan duniawi.
Sesungguhnya jika tidak ada pengaruh duniawi Hyang Widhi dan Atma itu adalah
tunggal adanya ( Brahman Atman Aikyam ).
Karman (Hukum Karma Phala)
Kata Karma berasal dari bahasa Sanskerta yaitu dari akar kata Kr, yang
artinya berbuat atu bekerja. Perbuatan tersebut ada yang baik dan ada yang
buruk. Perbuatan baik disebut Subha Karma dan yang buruk Asubha Karma. Dan semuanya
itu disebut Karma. Sumber karma ada 3 yaitu Manah atau pikiran, Wacika atau
perkataan, Kayika atau perbuataan. Dalam kitab Slokantara dijelaskan “Karma
Phala Ngaran Ika Phalaning Gawe Hala Hayu” artinya karma phala itu adalah
akibat(phala) dari baik dan buruk suatu perbuatan. Adapun sifat-sifat dari
hukum karma phala yaitu:
a. Bersifat
pasti dan tak terbatalkan
b. Bersifat
adil sesuai dengan karma
c. Bersifat
universal
Adapun
manfaat sebagai adalah sebagai berikut :
1 .
memotifasi seseorang untuk selalu berbuat baik
2 .memotifasi seseorang untuk selalu bersikap positif dan dinamis
serta tidak mudahPutus asa
3. memotivasi
seseorang untuk selalu bekerja tanpa pamrih
Karma ialah segala perbuatan dan
kegiatan yang kita lakukan tanpa kecuali, baik yang secara sadar maupun yang
kita laksanakan secara tidak sadar. Bentuk-bentuk karma sesuai dengan sumbernya
ada tiga macam yaitu:
1.
Karma dalam bentuk pikiran
2.
Karma dalam bentuk ucapan
3.
Karma dalam bentuk perbuatan atau
tingkah laku
Jika begitu, dapat diungkapkan bahwa
yang dimaksud dengan Karma ialah segala kegiatan dalam bentuk pikiran, ucapan
dan perbuatan baik yang disadari maupun yang tidak disadari.
Seperti halnya petani yang menanam
jagung atau singkong, pasti dia akan memetik jagung atau sin
gkong,
karena kelak jagung itu pasti akan berbuah, dan kelak singkong itu pasti akan
berumbi dan si petanipun akan mendapatkan hasil dari apa yang ia tanam.
Begitu juga halnya dengan karma
perbuatan yang dilakukan oleh manusia pasti akan menimbulkan hasil buah atau
akibat. Hasil dari perbuatan itulah yang disebut Karma Phala. Kata phala berarti buah atau hasil, dan yang
akan menerima Karma Phala atau buah karma itu adalah orang yang berbuat atau
yang memiliki karma itu, sebab ia sendiri yang melakukan karma itu. Jika ia
berbuat karma yang baik, maka ia akan memperoleh hasil yang baik pula, dan
sebaliknya jika ia melakukan karma yang buruk maka hasilnya akan buruk pula.
Keadaan atau kejadian seperti itulah yang disebut Hukum Karma.
Hukum Karma adalah Hukum alam yang
menjelaskan bahwa segala perbuatan akan menimbulkan hasil, perbuatan baik akan
menimbulkan kebaikan dan perbuatan jahat akan menimbulkan kejahatan
(penderitaan). Hal itu sesuai dengan hukum sebab akibat yang menyatakan bahwa
setiap sebab akan menimbulkan akibat. Maksudnya segala sebab yang berupa
perbuatan akan membawa akibat sebagai
hasil perbuatan itu, karena kata perbuatan sama dengan “karma” maka dapat kita
katakan sebagai berikut: segala karma atau (perbuatan) akan mengakibatkan Karma
Phala (hasil/buah perbuatan).
Pengaruh
hukum ini pulalah yang menentukan corak serta nilai dari pada watak manusia.
Hal ini menimbulkan
adanya
bermacam-macam ragam watak manusia di dunia ini. Terlebih-lebih hukuman kepada
roh yang selalu melakukan dosa semasa penelmaannya, maka derajatnya akan
semakin bertambah merosot. Hal ini disebutkan dalam Weda sebagai berikut:
Dewanam
narakam janturjantunam narakam pacuh,
Pucunam
narakam nrgo mrganam narakam khagah,
Paksinam
narakam vyalo vyanam narakam damstri,
Damstrinam narakam visi visinam
naramarane
(Clokantara.40.13-14)
Dewa neraka (menjelma) menjadi manusia. Manusia neraka (menjelma) menjadi ternak. Ternak menjadi binatang buas, binatang buas neraka menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular neraka menjadi taring. (serta taring) yang jahat menjadi bisa (yakni) bisa yang dapat membahayakan manusia.
Setiap perbuatan yang kita lakukan
di dunia ini baik atau buruk akan memberikan hasil. Tidak ada perbuatan sekecil
apapun yang luput dari hasil atau pahala, langsung maupun tidak langsung pahala
itu pasti akan datang. Kita percaya bahwa perbuatan yang baik atau Subha Karma
membawa hasil yang menyenangkan atau baik. Sebaliknya perbuatan yang buruk atau
Asubha Karma akan membawa hasil yang duka atau tidak baik.
Perbuatan – perbuatan buruk atau Asubha Karma menyebabkan Atma jatuh ke Neraka, dimana ia mengalami segala macam siksaan. Bila hasil perbuatan jahat itu sudah habis terderita, maka ia akan menjelma kembali ke dunia sebagai binatang atau manusia sengsara ( Neraka Syuta ). Namun, bila perbuatan – perbuatan yang dilakukan baik maka berbagai kebahagiaan hidup akan dinikmati di sorga. Dan bila hasil dari perbuatan – perbuatan baik itu sudah habis dinikmati, kelak menjelma kembali ke dunia sebagai orang yang bahagia dengan mudah ia mendapatkan pengetahuan yang utama (Surga Syuta).
Perbuatan – perbuatan buruk atau Asubha Karma menyebabkan Atma jatuh ke Neraka, dimana ia mengalami segala macam siksaan. Bila hasil perbuatan jahat itu sudah habis terderita, maka ia akan menjelma kembali ke dunia sebagai binatang atau manusia sengsara ( Neraka Syuta ). Namun, bila perbuatan – perbuatan yang dilakukan baik maka berbagai kebahagiaan hidup akan dinikmati di sorga. Dan bila hasil dari perbuatan – perbuatan baik itu sudah habis dinikmati, kelak menjelma kembali ke dunia sebagai orang yang bahagia dengan mudah ia mendapatkan pengetahuan yang utama (Surga Syuta).
Dalam lontar Atmaprangsangsa Agama dinyatakan
bermacam-macam tempat yang disediakan oleh Sang Hyang Yamadipati untuk
menghukum -attnd yang mendapat neraka,yaitu sebagai berikut :
1.
Kawah Tamra
Gohmukha (Kawah Weci)
Atma yang pada kehidupannya selalu berbuat jahat (jenek ring
pangan kinum), sampaimerugikan orang lain maka atma itu akan dibuang ke dalam
kawah Tamra Gohmukha.
2.Batu Macepak
Atma yang penuh dengan dosa-dosa akibat perbuatan mulutnya
yang tidak baik makadia dihukum di batu ini.
3.Tihing Petung dengan di bawahnya jurang
Tempat hukuman bagi atma yang penuh dosa karena melaksanakan
black magic (ilmuhitam)
4.Titi Ugal-Agil
Tempat hukuman bagi atma yang pada waktu hidupnya suka
memfitnah (ngerajapisurta) dan mengada-ada (berbohong).
5.Kayu Curiga
Tempat menghukum atma yang penuh dosa karena bermain cinta
dengan bukan istrinyasendiri.
6.Tegal penangsaran
Disediakan bagi atma yang penuh dosa karena perbuatannya
selalu membuat orang lainsengsara/ panas hati
Jika dilihat dari sudut waktu, Karma
phala dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a.
Sancita Karma Phala
Sancita Karma Phala adalah hasil
dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan
masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang. Bila karma kita
pada kehidupan yang terdahulu baik, maka kehidupan kita sekarang akan baik pula
( senang, sejahtera, bahagia ). Sebaliknya bila perbuatan kita terdahulu buruk
maka kehidupan kita yang sekarang inipun akan buruk ( selalu menderita, susah,
dan sengsara ). Atau sering disebut Karma Phala Dahulu-Sekarang.
b. Prarabda Karma Phala
Prarabda Karma Phala adalah hasil
dari perbuatan kita pada kehidupan sekarang ini tanpa ada sisanya, sewaktu
masih hidup telah dapat memetik hasilnya, atas karma yang dibuat sekarang.
Sekarang menanam kebijaksanaan dan kebajikan pada orang lain dan seketika itu
atau beberapa waktu kemudian dalam hidupnya akan menerima pahala, berupa
kebahagiaan. Sebaliknya sekarang berbuat dosa, maka dalam hidup ini dirasakan
dan diterima hasilnya berupa penderitaan akibat dari dosa itu. Prarabda karma
phala dapat diartikan sebagai karma phala cepat. Atau serng disubut Karma Phala
Sekarang-sekarang.
c. Kriyamana Karma Phala
Kriyamana Karma Phala adalah pahala
dari perbuatan yang tidak dapat dinikmati langsung pada kehidupan saat berbuat.
Tetapi, akibat dari perbuatan pada kehidupan sekarang akan dan di terima pada
kehidupan yang akan datang, setelah orangnya mengalami proses kematian serta
pahalanya pada kelahiran berikutnya. Apabila karma pada kehidupan yang sekarang
baik maka pahala pada kehidupan berikutnya adalah hidup bahagia, dan apabila
karma pada kehidupan sekarang buruk maka pahala yang kelak dikehidupan
mendatang diterima berupa kesengsaraan. Atau sering disebut dengan Karma Phala Sekarang
– akan datang.
Tegasnya cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Kita tidak dapat menghindari hasil perbuatan kita itu baik atau buruk. Maka kita selaku manusia yang dilengkapi dengan bekal kemampuan berpikir, patutlah sadar bahwa penderitaan dapat diatasi dengan memilih perbuatan baik. Manusia dapat berbuat atau menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.
Punarbawa
(Samsara)
Kata Punarbhawa berasal dari bahasa sanskerta, terdiri dari dua kata
yaitu: kata punar yang berarti lagi,
kembali dan bhava yang berati
menjelma. Jadi, Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang yang disebut
juga dengan Penitisan atau Samsara.
Di dalam pustaka suci weda dikatakan bahwa penjelmaan atma (roh) yang berulang
ulang (samsriti) ke dunia ini disebut
samsara. Punarbhawa atau samsara ini
terjadi diakibatkan oleh adanya Hukum Karma, dimana karma yang jelek
menyebabkan atma (roh) menjelma kembali untuk memperbaiki perbuatannya yang
tidak baik, atau karena atma itu masih dipengaruhi oleh Karma Wesana
(bekas-bekas atau sisa-sisa perbuatan)atau kenikmatan duniawi sehingga tertarik
untuk lahir ke dunia kembali. Kelahiran ini adalah Samsara (sengsara) sebagai
hukuman yang diakibatkan oleh perbuatan atau karma dikelahiran yang terdahulu.
. Jangka pembebasan diri dari samsara, tergantung pada perbuatan baik kita yang
lampau ( atita ) yang akan datang ( nagata ) dan sekarang ( wartamana ).
Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang, yang disebut juga
penitisan kembali (reinkarnasi) atau Samsara. Di dalam Weda disebutkan
bahwa "Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia
yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa
akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh karena Jiwatman
masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian akan diikuti oleh
kelahiran".
Demikian pula
disebutkan:
Sribhagavan uvacha,
bahuni me vyatitani,
janmani tava cha rjuna,
rani aham veda sarvani,
na tvam paramtapa (Bh. G. IV.5)
Sri Bhagawan (tuhan) bersabda, banyak kelahiran-Ku di masa lalu, demikian pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu, tetapi engkau sendiri tidak,. Parantapa.
bahuni me vyatitani,
janmani tava cha rjuna,
rani aham veda sarvani,
na tvam paramtapa (Bh. G. IV.5)
Sri Bhagawan (tuhan) bersabda, banyak kelahiran-Ku di masa lalu, demikian pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu, tetapi engkau sendiri tidak,. Parantapa.
Atman yang masih diselubungi oleh suksma sarira dan masih terikat oleh
adanya kenikmatan duniawi, menyebabkan Atman itu awidya, sehingga Ia belum bisa
kembali bersatu dengan sumbernya yaitu Brahman (Hyang Widhi). Hal ini
menyebabkan atman itu selalu mengalami kelahiran secara berulang-ulang.
Segala bentuk prilaku atau perbuatan yang dilakukan pada masa kehidupan
yang lampau menyebabkan adanya bekas (wasana) dalam jiwatman. Dan wasana
(bekas-bekas perbuatan) ini ada bermacam-macam. Jika wasana itu hanya
bekas-bekas keduniawian, maka jiwatman akan lebih cenderung dan gampang ditarik
oleh hal-hal keduniawian sehingga atman itu lahir kembali.
Karmabhumiriya brahman,
phlabhumirasau mata
iha yat kurate karma tat,
paratrobhujyate. (S.S.7)
phlabhumirasau mata
iha yat kurate karma tat,
paratrobhujyate. (S.S.7)
Sebab sebagai manusia sekarang ini
adalah akibat baik dan buruknya karma itu juga akhirnya dinikmatilah karma
phala itu. Artinya baik buruk perbuatan itu sekarang akhirnya terbukti
hasilnya. Selesai menikmatinya, menjelmalah kembali ia, mengikuti sifat karma
phala. Wasana berarti sangskara, sisa-sisa yang ada dari bau sesuatu yang
tinggal bekas-bekasnya saja yang diikuti hukuman yaitu jatuh dari tingkatan
sorga maupun dari kawah-kawah neraka, adapun perbuatan baik ataupun buruk yang
dilakukan di akhirat, tidaklah ia berakibat sesuatu apapun, oleh karena yang
sangat menentukan adalah perbuatan-perbuatan baik atau buruk yang dilakukan
sekarang juga.
Karma dan Punarbhawa ini merupakan suatu proses yang terjalin erat satu
sama lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa karma adalah perbuatan yang
meliputi segala gerak, baik pikiran, perkataan maupun tingkah laku. Sedangkan
punarbhawa adalah kesimpulan dari semua karma itu yang terwujud dalam
penjelmaan tersebut. Setiap karma yang dilakukan atas dorongan acubha karma
akan menimbulkan dosa dan Atman akan mengalami neraka serta dalam Punarbhawa
yang akan datang akan mengalami penjelmaan dalam tingkat yang lebih rendah,
sengsara, atau menderita dan bahkan dapat menjadi mahluk yang lebih rendah
tingkatannya. Sebaliknya, setiap karma yang dilakukan berdasarkan cubhakarma
akan mengakibatkan Atman (roh) menuju sorga dan jika menjelma kembali akan
mengalami tingkat penjelmaan yang lebih sempurna atau lebih tinggi. Di dalam
Weda (S.S.48) dinyatakan sebagai berikut:
"Adharmarucayo mandas,
tiryaggatiparayanah,
krocchram yonimanuprapya,
na windanti sukham janah.
tiryaggatiparayanah,
krocchram yonimanuprapya,
na windanti sukham janah.
Adapun perbuatan orang yang bodoh, senantiasa tetap berlaku menyalahi dharma; setelah ia lepas dari neraka, menitislah ia menjadi binatang, seperti biri-biri, kerbau dan lain sebagainya; bila kelahirannya kemudian meningkat, ia menitis menjadi orang yang hina, sengsara, diombang-ambingkan kesedihan dan kemurungan hati, dan tidak mengalami kesenangan.
Sedangkan orang yang selalu berbuat baik (cubhakarma), Sarasmuccaya
menyebutkan: "Adapun orang yang selalu melakukan karma baik (cubhakarma),
ia dikemudian hari akan menjelma dari sorga, menjadi orang yang tampan
(cantik), berguna, berkedudukan tinggi, kaya raya dan berderajat mulia. Itulah
hasil yang didapatnya sebagai hasil (phala) dari perbuatan yang baik".
Kesimpulannya, dengan keyakinan dengan adanya Punarbhawa ini maka orang
harus sadar, bahwa bagaimana kelahirannya tergantung dari karma wasananya.
Kalau ia membawa karma yang baik, lahirlah ia menjadi orang berbahagia,
berbadan sehat dan berhasil cita-citanya. Sebaliknya bila orang membawa karma
yang buruk, ia akan lahir menjadi orang yang menderita. Oleh karena itu
kelahiran kembali ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri untuk meningkat
ke taraf yang lebih tinggi.
Iyam hi yonihprathama,
yam prapya jagattpate
atmanam cakyate tratum,
karmabhih cubhalaksanaih (S.S. 4)
Menjelma menjadi manusia itu sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya sendiri dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.
yam prapya jagattpate
atmanam cakyate tratum,
karmabhih cubhalaksanaih (S.S. 4)
Menjelma menjadi manusia itu sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya sendiri dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.
Sopanabhutam Swargasya,
manusyam prapya durlabham,
tathamanam samadyad,
dhwamsetana purna yatha. (S.S. 6)
Kesimpulannya, pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi ke sorga; segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya dilakukan.
manusyam prapya durlabham,
tathamanam samadyad,
dhwamsetana purna yatha. (S.S. 6)
Kesimpulannya, pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi ke sorga; segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya dilakukan.
Diantara semua mahluk hidup yang ada didunia ini, manusia adalah mahluk
yang utama. Ia dapat berbuat baik maupun buruk, serta dapat melebur
perbuatannya yang buruk dengan perbuatan yang baik. Oleh karena itu seseorang
sepatutnya bersyukur dan berbesar hati lahir sebagai manusia. Karena sungguh
tidaklah mudah untuk dapat dilahirkan menjadi manusia sekalipun manusia hina.
Penyebab Terjadinya Punarbhava.
Punarbhava itu sesungguhnya adalah penderitan yang akan dirasakan oleh setiap
mahluk di dunia ini, tetapi di sisi lain punarbhava itu juga merupakan sebagai
kesempatan untuk melakukan karma yang baik, adanya punarbhava menurut ajaran
agama Hindu disebabkan adanya karmawasana. Karmawasana muncul dari perbuatan
manusia, yang di pergunakan sebagai pedoman benar atau salah itu dalam ajaran
agama Hindu adalah sabda Tuhan dalam kitab suci. Karma pada masa lampau akan
membuat wasana atau bekas pada atman, sehingga dengan demikian muculah
punarbhava. Lamanya Punarbhava itu di tentukan banyak sedikitnya wasana yang
ada pada atman, bila dilihat dari segi filosofis karma dan Punarbhava itu
kedua-duanya adalah suatu proses yang terjalin erat satu dengan yang lain.
Setiap
karma yang dilakukan oleh seseorang di dorong oleh pikiran, indria dan nafsu
yang tidak sesuai dengan garis kebenaran yang diajarkan oleh agama. Akibat yang
ditimbulkan adalah dosa yang harus ditanggung oleh atman maka itu atman lahir
kembali (punarbhava) yang semua disebabkan oleh karma itu sendiri. Dalam
kehidupan di dunia ini sesungguhnys yang sangat banyak perbuatan yang di liputi
oleh sad ripu, sad atatayi, dan sapta timira, akan membawa seseorang dalam
penderitan, untuk dapat menghilangkan penyebab Punarbhava itu hendaklah
seseorang dapat melenyapkan penyebab penderitan itu sendiri dengan jalan selalu
berusaha mawas diri kearah yang benar.
Adapun
tangga yang patut ditempuh untuk dapat membebaskan diri dari hukum punarbhava
itu adalah kesusilan, dana punya, budi luhur, pengabdian yang suci dan
kebajikan itu sendiri. Memang kita sulit membebas diri dari hukum punarbhava
kecuali kita bisa melakukan hal-hal yang berdasarkan ajaran agama seperti yang
dilakukan orang-orang suci seperti maharsi, itu pun hanya sebagian orang-orang
suci yang bisa melakukan, karena masih banyak terikat oleh keduniawian. Dalam kehidupan sehari-hari maupun lingkungan bermasyarakat dapat kita
lihat dan kita rasakan, penyebab terjadinya punarbhawa atau kelahiran kembali
seperti: Adanya perbedaan kondisi kehidupan manusia di dunia seperti
kaya-miskin, bahagia-sengsara, tanpan-cacat, dan sebagainya,walaupun Tuhan /
Brahman diyakini bahwa maha adil, pengasih dan penyayang.
Sebab
terjadinya Punarbhawa seperti, ingin memperbaiki diri menuju kesempurnaan agar
roh dapat mencapai Moksa. Mengenai kebenaran adanya punarbhawa, kitab suci
memberikan kesaksian sebagai berikut :
Bahūni me vyatītāni
janmāni tava cārjuna
veda sarvāni Tāny aham
vettha parantapa. na tvam
(Bh. Gita : IV.5)
Artinya :
Banyak kelahirian (kehidupan yang telah kujalani dan demikian pula engkau,
O Arjuna, semua itu Aku ketahui, tetapi engkau tidak dapat mengetahuinya.
2.3 Proses Terjadinya Punarbhava
janmāni tava cārjuna
veda sarvāni Tāny aham
vettha parantapa. na tvam
(Bh. Gita : IV.5)
Artinya :
Banyak kelahirian (kehidupan yang telah kujalani dan demikian pula engkau,
O Arjuna, semua itu Aku ketahui, tetapi engkau tidak dapat mengetahuinya.
2.3 Proses Terjadinya Punarbhava
Terjadinya punarbhava diakibatkan manusia di dunia ini masih melakukan
hal-hal yang tidak baik, selalu mencapai atau mencari yang diinginkan melalui
cara yang tidak baik, seperti KKN, mencuri milik orang lain, dll. Dikarenakan
manusia di dunia ini masih diliputi oleh sad ripu, sad atatayi, sarta timira,
makanya punarbhava itu selalu ada dalam diri manusia, akibat perbuatan yang
dilakukannya tidak sesuai dengan ajaran agama. Selain itu juga selama isi bumi
masih ada maka proses terjadinya punarbhawa akan tetap ada. Jadi proses
terjadinya Punarbhawa, Setelah roh selesai menikmati hasil perbuatan di alam
Roh atau Bwah Loka, melahirkan kembali roh tersebut. Kelahiran tersebut seseui
dengan hasil perbuatannya. Jikalau roh disertai dengan hasil perbuatan baik, maka
akan lahir Sorga yang disebut Swarga Syuta dan menjadi mahluk utama.
Kelahiran atma yang berulang ulang ke dunia
ini membawa akibat suka duka. Didalam kitab suci bhagawangita Bab IV. 5 Sri
Krsna bersabda:
Sribhagavan uvaca :
Bahuni me
vyatitani janmani tava carjuna
Tany aham veda sarvani na
twam vettha parantapa
Artinya
Sri Bhagawan berkata : Banyak
kelahiran-Ku di masa lalu demikian dan pula kelahiranmu,
Arjuna; Semuanya
ini aku tahu tetapi engkau sendiri tidak, parantapa.
Setiap karma yang dilakukan atas
dorongan indria dan kenafsuan adalah Asubha
Karma karena akibatnya akan menimbulkan dosa, dan atma akan mengalami
Neraka serta selanjutnya akan mengalami punarbhawa dalam tingkat yang lebih
rendah. Demikian pula sebaliknya bahwa karma yang dilakukan atas dasar Buddhi Sattvam adalah Buddhi Dharma (Subha Karma) yang
menyebabkan atma akan mendapat surga dan jika menjelma kembali akan mengalami
tingkat penjelmaan yang sempurna dan lebih tinggi. Atma yang menjelma dari
surga akan menjelma menjadi manusia yang hidup bahagia didunia dan kebahagiaan
ini akan dirasakan dalam penjelmaan yang akan datang yang disebut Surga syuta.Sedangkan atma yang menjelma
dari Neraka akan menjadi makhluk yang nista, mengalami banyak penderitaan dalam
hidup di dunia. Penjelmaan dalam penderitaan ini disebut kelahiran Neraka Syuta. Jadi dengan demikian
tingkat dan keadaan penjelmaan itu berbeda-beda tergantung dari jenis Subha dan
Asubha Karma yang diperbuatnya.
Pembebasan dari samsara berarti
mencapai penyempurnaan atma dan mencapai moksa yang dapat dicapai di dunia ini
juga. Selanjutnya keyakinan adanya Punarbhawa ini akan menimbulkan tindakan
sebagai berikut :
- Pitra Yadnya Yaitu memberikan
korban suci terhadap leluhur kita, karena kita percaya leluhur itu masih hidup
di dunia ini yang lebih halus.
- Pelaksanaan dana Punya ( amal
saleh ), karena perbuatan ini membawa kebahagiaan setelah meninggal.
- Berusaha menghindari semua
perbuatan buruk karena jika tidak, akan membawa ke alam neraka atau menglami
kehidupan yang lebih buruk lagi.
Pengalaman Hidup yang merupakan
bukti dari adanya Punarbhawa tersebut, bisa dilihat pada Lampiran halaman
terakhir.
3.7 Moksa
Dalam keyakinan umat hindu yang
menjadi tujuan hidup manusia di alam ini adalah Moksa. Dalam kitab suci weda , dinyatakan “Moksartham jagadhita ya ca iti dharma” yang artinya, bahwa tujuan
agama (Dharma) itu adalah untuk mencapai Moksa (Mokshartham) dan kesejahteraan umat manusia (Jagadhita).
Kata moksa berasal dari bahasa
Sanskerta, yaitu dari kata Muc yang
berarti membebaskan atau melepaskan. Dengan demikian, kata Moksa berarti
kelepasanan kebebasan. Dari segi istilah, moksa disamakan dengan nirwana dan
nisreyasa atau kaparamarthan.
a.
Mencapai Moksa.
Untuk
mencapai moksa seseorang harus mempunyai persyaratan2 tertentu sehingga proses
mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma2 ajaran agama Hindu. Dalam
mencapai Moksa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Dharma.
Dalam
ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Catur Parusanta dijelaskan bahwa tujuan
dari kehidupan adalah bagaimana untuk menegakkan Dharma, setiap tindakan harus
berdasarkan kebenaran tidak ada dharma yang lebih tinggi dari kebenaran. Dalam
Bagawad Gita disebutkan bahwa Dharma dan Kebenaran adalah nafas kehidupan.
Krisna dalam wejangannya kepada Arjuna mengatakan bahwa dimana ada Dharma,
disana ada Kebajikan dan Kesucian, dimana Kewajiban dan Kebenaran dipatuhi
disana ada kemenangan. Orang yang melindungi dharma akan dilindungi oleh dharma
maka selalu tempuhlah kehidupan yang suci dan terhormat.
Dalam
zaman edan saat ini semua orang mengabaikan kebenaran, orang sudah menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan, krisis moral sudah meraja lela dimana mana,
kebenaran dan keadilan sudah langka, orang sudah tidak mengenal budaya malu,
semua perbuatannya dianggap sudah benar dan normal. Sebenarnya Dharma tidak
pernah berubah, Dharma telah ada pada zaman dahulu, zaman sekarang dan zaman
yang akan datang, ada sepanjang zaman tetapi setiap zaman mempunyai
karateristik lain2 dalam melakukan latihan kerohanian (spiritual). Untuk Kerta
Yuga latihan kerohanian yang baik adalah melakukan Meditasi, untuk Treta Yuga
latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban, untuk
Dwapara latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Yoga yaitu
upacara pemujaan dan untuk Kali Yuga latihan kerochanian yang baik adalah
dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang ngulang atau menyebut nama Tuhan
yang suci.
2. Pendekatan
kepada Yang Widhi Wasa
Untuk
mendekatkan diri kehadapan Yang Widhi Wasa ada beberapa cara yang dilakukan
Umat Hindu yaitu cara Darana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta), dan
Semadi (mengheningkan cipta). Dengan melakukan latihan rochani , terutama
dengan penyelidikan bathin, akan dapat menyadari kesatuan dan menikmati sifat
Tuhan yang selalu ada dalam diri kita. Apabila sifat2 Tuhan sudah melekat dalam
diri kita maka kita sudah dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa sehingga segala
permohonan kita akan dikabulkan dan kita selalu dapat perlindungan dan
keselamatan.
3. Kesucian.
Untuk
memperoleh pengetahuan suci, dan menghayati Yang Widhi Wasa dalam keberagaman
dinyatakan dalam doa Upanishad yang termasyur : Asatoma Satgamaya, Tamasoma
Jyothir Gamaya, Mrityorma Amritan Gamaya yang artinya, Tuntunanlah kami dari
yang palsu ke yang sejati, tuntunlah kami dari yang gelap ke yang terang,
tuntunlah kami dari kematian ke kekalan.
Setiap
kita melakukan kegiatan2, kita biasakan untuk memohon tuntunan kehadapan Yang
Widhi Wasa agar kita selamat dan selalu dilindungi. Pekerjaan apapun kita
lakukan, apabila kita bekerja demi Tuhan dan dipersembahkan kehadapan Yang
Widhi Wasa, maka pekerjaan tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi. Dengan
menghubungkan pekerjaan tersebut dengan Yang Widhi Wasa, maka ia menjadi suci
dan mempunyai kemampuan dan nilai yang tinggi.
Tujuan
dari kehidupan kita adalah agar atman terbebas dari triguna dan menyatu dengan
Para atman. Didalam Weda disebut yaitu Moksartham Jaga Dhitaya Ca Iti Dharmah
yang artinya adalah tujuan agama (Dharma) kita adalah untuk mencapai moksa
(moksa artham) dan kesejahteraan umat manusia (jagadhita).
Ciri-ciri orang
yang telah mencapai jiwatman mukti adalah.
1. Selalu
mendapat ketenangan lahir maupun bathin.
2. Tidak
terpengaruh dengan suasana suka maupun duka.
3. Tidak
terikat dengan keduniawian.
4. Tidak
mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain (masyarakat banyak).
b. Tingkatan- tingkatan Moksa
Untuk
mencapai moksa juga mempunyai tingkatan-tingkatan tergantung dari karma (perbuatannya)
selama hidupnya apakah sudah sesuai dengan ajaran-ajaran agama Hindu. Tingkatantingkatan seseorang yang
telah mencapai moksa dapat dikatagorikan sebagai berikut.
1. Apabila
seorang yang sudah mencapai kebebasan rochani dengan meninggalkan mayat disebut
Moksa.
2. Apabila
seorang yang sudah mencapai kebebasan rochani dengan tidak meninggalkan mayat
tetapi meninggalkan bekas2 misalnya abu, tulang disebut Adi Moksa.
3. Apabila
seorang yang telah mencapi kebebasan rochani yang tidak meninggalkan mayat
serta tidak membekas disebut Parana Moksa.
Moksa ini dapat dibedakan menjadi empat jenis,
yaitu : Samipya, Sarupya, Salokya dan Sayujya. Adapun penjelasannya
masing-masing adalah sebagai berikut :
1.
Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang
semasa hidupnya didunia ini.
2.
Sarupya
(sadharmya) adalah suatu kebebasan yang didapat
oleh seseorang di dunia ini karena kelahirannya.
3.
Salokya adalah suatu kebebasan yang didapat oleh Atman, dimana atman
itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan tuhan.
4.
Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi, dimana Atman
telah dapat bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa (Brahman).
Adapun
tingkatan-tingkatan moksa itu, yaitu : Jiwa Mukti, Wideha Mukti (Karma Mukti),
Purna Mukti. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
1.
Jiwa Mukti adalah suatu kebebasan yang didapatkan oleh seseorang dalam
hidupnya didunia ini, dimana Atman tidak terpengaruh oleh indriya dan
usur-unsur dari maya (keduniawian).
2.
Wideha
Mukti (Karma Mukti) adalah
suatu kebebasan yang dapat dicapai semasa hidupnya.
3.
Purna
Mukti adalah kebebasan yang paling
sempurna dan yang tertinggi, dimana Atman telah bersatu dengan Brahman (tuhan).
a.
Cara Mencapai Moksa
Moksa adalah alam Brahman yang
sangat Gaib, dan berada diluar batas pemikiran umat manusia. Yang dimaksud
dengan kebebasan dalam pengertian Moksa ialah terlepasnya Atman dari ikatan
maya, sehingga dapat menyatu dengan
Brahman. Bagi orang yang telah mencapai Moksa berarti mereka telah mencapai
alam Sat Cit Ananda, yaitu
kebahagiaan yang tertinggi. Jalan yang ditunjuk oleh ajaran agama untuk
mencapai Moksa adalah Catur Marga Yoga yaitu
adalah empat jalan yoga untuk mencapai moksa, bagianya adalah:
1.
Bhakti Marga
Yoga
Bhakti Marga Yoga adalah proses atau cara mempersatukan
atman dengan brahman dengan berlandaskan atas dasar cinta kasih yang mendalam
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kata “bhakti” berarti hormat, taat, sujud,
menyembah, persembahan dan kasih. Seorang Bhakta (orang yang menjalani Bhakti
Marga)dengan sujud dan cinta, menyembah dan berdoa dengan pasrah
mempersembahkan jiwa raganya sebagai Yajna kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Jadi untuk lebih jelasnya seorang Bhakta akan selalu berusaha melenyapkan
kebenciannya kepada semua makhluk. Sebaliknya ia selalu berusaha memupuk dan
mengembangkan sifat-sifat maitri, karuna
mudita dan upeksa (Catur Paramita).
2.
Karma
Marga Yoga
Karma Marga Yoga adalah jalan ataau cara untuk mencapai
Moksa dengan perbuatan atau kebajikan tanpa pamrih. Seorang karmin (orang yang
menjalani Karma Marga Yoga) ia akan selalu berpedoman pada Rame ing gawe sepi ing pamrih, yang artinya bekerja keras
tanpa menginginkan hasil.
3.
Jnana
Marga Yoga
Jnana artinya kebijaksanaan filsafat (pengetahuan). Yoga
bersal dari urat kata Yuj artinya,
menghubungkan diri. Jadi, Jnana Marga Yoga artinya, mempersatukan jiwatman
dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan
filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian. Seorang yang
mempelajari ajaran Jnana Marga Yoga disebut Jnanin.
4.
Raja Marga
Yoga
Raja Marga Yoga adalah Suatu jalan mistik (rohani) untuk
mencapai kelepasan atau Moksa. Melalui Raja Marga Yoga seseorang akan lebih
cepat mencapai Moksa, tetapi tangtangan yang dihadapipun lebih berat. Ada tiga
jalanpelaksanaan yang ditempuh oleh para Raja Yogin (orang yang menjalani Raja
Marga Yoga), yaitu melaksanakan Tapa Brata, Yoga dan Samadhi. Tapa dan Brata
merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau hawa nafsu yang ada
dalam diri kita kearah yang positif sesuai dengan arah kitab suci. Sedangkan
Yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan Atman dengan Brahman
dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.
Seorang yogin akan menghubungkan dirinya memalui Astangga
Yoga yaitu Delapan tahapan Yoga untuk mencapai Moksa. Astangga Yoga diajarkan
oleh Mara Resi Patanjali dalam bukunya yang disebut Yoga Sutra Patanjali yaitu
sebagai berikut :
a.
Yama yaitu
suatu bentuk larangan yang harus dilakukan seseorang dari segi jasmani.
b.
Nyama yaitu
Pengendalian diri yang lebih bersifat Rohani.
c.
Asana yaitu
Sikap duduk yang menyenangkan, teratur dan disiplin.
d.
Pranayama
yaitu mengatur pernafasan sehingga menjadi sempurna.
e.
Pratyahara
yaitu mengontrol dan mengendalikan indriyaa dari ikatan objeknya sehingga orang
dapat melihat hal-hal yang suci.
f.
Dharana yaitu
usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan.
g.
Dhayana yaitu
pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan pada suatu objek.
h.
Samaddhi yaitu
penyatuan Atma.
Oleh
sebab itu marilah kita melatih diri untuk melaksanakan ajaran Astangga Yoga
dengan tuntutan seorang guru yang telah memiliki kemampuan dalam hal Yoga.
Moksa adalah terlepasnya Atman dari belenggu maya (bebas dari pengaruh karma dan
punarbhawa) dan akhirnya bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Posted by 21.45 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anybody is welcome to join tanpa membedakan latar belakang suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, usia, orientasi seksual, dan difabelitas.