Panca Mahayajna
Sesungguhnya Tuhan menciptakan alam
semesta beserta isinya ini melalui sebuah yajna,memelihara
dengan yajna, dan meleburnya juga dengan yajna. Hal
ini sebagaimana dikatakan dalam Bhagavadgita sebagai berikut.
“Sahayajnah prajah srstava, puro’vaca
prajapatih,
Anena prasavis yadhvam, eso vo’stu
istakamadhuk”.
Artinya:
Dengan yajna engkau
akan mengembang (srsti), kata Prajapati,
dan ia (yajna) akan menjadi
kamadhuk dari keinginanmu.
Kamadhuk adalah sapi dari Indra yang
dapat memenuhi semua keinginan. Selanjutnya dalam pustaka suci yang sama
disebutkan bahwa:
“Devam bhavayata’nena,
te deva bhavayantu vah,
Parasparam bhavayantah,
Artinya:
Dengan ini kamu memelihara para Dewa
dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi saling memelihara satu
sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.
Kedua sloka di atas
menegaskan bahwa Alam semesta (bhuwana agung), dan manusia (bhuwana
alit) ini diciptakan oleh Prajapati melalui sebuah yajna.
Yajna ini pula yang akan memenuhi keinginan manusia sehingga ia dapat
tetap eksis di dunia ini. Oleh karena itu yajna juga harus
dilakukan oleh manusia karena dengan yajna manusia menghormati
para Dewa dan para Dewa akan memelihara manusia. Saat manusia telah mendapat
anugerah dari para Dewa, di mana kehidupannya selalu dipelihara dan
diselamatkan oleh para Dewa maka itulah kebahagiaan yang maha tinggi. Di
sini Bhagavadgita berbicara tentang konsep bhakti, yaitu
manusia melakukan yajna untuk berkomunikasi dengan para Dewa,
dan atas yajna tersebut para Dewa akan memberikan anugerah
kepada manusia. Inilah puncak dari konsep bhakti, yaitu manusa
bhakti dewa asih (manusia beryajna untuk mendapatkan kasih
Tuhan).
Upācāra dalam rangka
pelaksanaan ajaran Agama Hindu dapat digolongkan menjadi lima kelompok besar
berdasarkan sasaran dalam pelaksanaannya yang disebut Panca
Mahayajna atau sering disebut Panca Yajna. Yajna adalah
suatu pengorbanan yang dilandasi oleh hasrat yang suci untuk menguhubungkan
diri dengan Tuhan. Kelima jenis korban suci tersebut meliputi:
- Dewa Yajna, yakni korban suci yang ditujukan kepada para Dewa.
- Rsi Yajna, yakni korban suci kepada para Maharsi, dan juga proses untuk menjadi seorangdwijati tergolong dalam Rsi yajna.
- Pitra Yajna, yakni kurban suci untuk menghantarkan roh leluhur mencapai sorga.
- Manusa Yajna, yakni kurban suci untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan manusia.
- Bhuta Yajna, yakni kurban suci untuk memelihara dan memanfaatkan sumber-sumber energi yang ada di alam agar tetap lestari, seimbang, dan harmoni (satyam, sivam, sundaram).
(1) Dewa Yajna
Upacara-upacara yang tergolong dalam
Dewa Yajna meliputi upacara0-upacara sejak pengadaan hingga pemeliharaan tempat
suci. Dimulai dengan pemasangan fondasi (nasarin) hingga penyelesaian
bangunan (mlaspas). Disusul dengan upacara penyucian (makarya)
melalui beberapa tahapan.
- Tahapan pertama dilakukan upacara penyampaian tekad (Nyanjan/ Matur Piuning) sehubungan dengan akan diselenggarakannya upacara penyucian. Dalam rangka acara tersebut dilakukan juga penentuan Pendeta yang akan berperan menuntun dan menyelesaikan upacara serta para tukang banten yang akan menggarap semua perlengkapan upacara.
- Tahapan kedua dilakukan upacara persiapan dalam bentuk upacara penyucian terhadap bahan perlengkapan upacara, baik yang tergolong eka pramana (tumbuh-tumbuhan) maupundwi pramana (hewan). Bahan dari tumbuh-tumbuhan (sarwa tumuwuh/ kekayonan) diwakili oleh beras dalam upacara Negteg Beras atau Ngingsah Beras. Sedangkan dari golongan binatang (sarwa prani/wewalungan) diwakili oleh kurban dalam bentuk upacara mapepada.
- Tahap ketiga setelah bahan perlengkapan upacara diolah menjadi sarana upacara maka dilakukan upacara menjalin hubungan harmonis dengan penghuni alam, baik vertikal maupun horizontal terhadap alam sekitar. Penghuni alam bawah diwakili oleh Para Bhuta Kala dalam bentuk upacara Bhuta Yajna menjelang puncak karya. Hubungan dengan sesama dilakukan dengan upacara mapedanan/Medana-dana. Penghuni alam atas diwakili oleh para Dewa, terutama Ista Dewata dalam bentuk upacara Mendaksiwi.
- Tahap keempat setelah Istadewata di-sthana-kan di tempat suci maka dilakukan upacara penyucian yang bersifat Antropomorfis, yaitu arca, pratima, ”dimandikan” (disucikan) dalam bentuk upacara Melis/Mekiis/Melasti/Malelasti. Umumnya dilakukan di tepi laut karena laut diyakini sebagai sumber air suci. Upacara ini juga dapat dilakukan di sumber-sumber air yang disucikan (pabejian/pasiraman).
- Tahap kelima dilaksanakan kegiatan puncak pada hari upacara (Anambut karya) berupa upacara yang bertema menumbuhkan kekuatan suci (Mamungkah) dalam bentuk mengumpulkan sumber-sumber kekuatan suci (Pangusabhan) serta mengukuhkan kedudukan sumber-sumber kekuatan suci (Ngenteg Linggih).
- Tahap keenam dilakukan upacara penyuburan sumber-sumber kekuatan suci (Ngeremekin). Jika upacara yang dilaksanakan tergolong besar maka disusul upacara pelengkap (Negepang Karya) yang meliputi upacara bertema pertumbuhan (Mekabat Daun), upacara pemenuhan (Ngebekin) dan upacara penyatuan (Ngingkup).
- Tahap terakhir dilaksanakan upacara kunjungan ke tempat kekuatan suci diperlakukan, baik dengan hubungan vertikal (Nyenukin) maupun secara horizontal (Tegal Linggih). Dilakukan juga kunjungan ke tempat kekuatan suci berasal dalam bentuk upacara Nuku dan Mapajati.
Setelah upacara pengadaan tempat suci
dilaksanakan maka secara berkala dilaksanakan upacara pemeliharaan sumber
kekuatan suci (Ista dewata) yang telah di-sthana-kan di tempat
suci ini. Upacara tersebut merupakan upacara peringatan terhadap hari tumbuhnya
atau lahirnya (pawedalan/piodalan) tempat suci dan dilaksanakan dengan
mempersembahkan berbagai sesajeni(Pujawali). Demikianlah
upacara rangkaian Dewa yajna yang dilaksanakan dalam kaitannya
dengan pembuatan tempat suci (pura). Upācāra dalam
maknanya sebagai tata cara keagamaan bukan hanya dilakukan dalam prosesi yang
besar dan kompleks, tetapi berbagai bentuk tata cara agama yang dilakukan
sehari-hari misalnya, sembahyang, maturan, mesaiban, dan
lain-lain juga merupakan dewa yajna.
(2) Rsi Yajna
Upacara-upacara yang tergolong
dalam Rsi Yajna pada prinsipnya ada dua, yaitu penghormatan kepada
orang suci dan prosesi menjadi orang suci. Dalam Agama Hindu yang disebut
dengan orang suci adalah Pinandita dan Pandita dengan tingkat penyucian yang
berbeda. Pinanditaadalah Ekajati yang disucikan
lewat upacara Pawintenan, sedangkan Pandita adalah Dwijati yang
disucikan lewat upacara Padiksan.
Pertama, penghormatan kepada
orang suci dilakukan dengan memberikan pelayanan kepada Beliau. Dalam agama
Hindu di Bali dikenal upacara Rsi Bhojana, yaitu memberikan
suguhan makanan kepada para Wiku. Dalam dimensi sosio-religius
para Pandita dibebaskan dari kegiatanayah-ayahan
desa, ini juga merupakan bentuk penghormatan terhadap orang suci. Umat
yang akan mengundang seorang Pinandita dan Pandita untuk
menyelesaikan (muput) sebuah upacara, biasanya menghaturkan Banten
Pangoleman, yang pada intinya juga wujud penghormatan kepada orang
suci.Kedua, prosesi menjadi orang
suci dibedakan untuk seorang Pinandita/Pamangku, dan seorangWiku/Pandita. Upacara
penyucian untuk menobatkan seorang Pinandita dinamakan upacaraPawintenan. Pada
saat mulai belajar dilakukan Pawintenan Saraswati, sedangkan
setelah melalui proses belajar dan mulai menjalankan swadharma sebagai Pinandita dilakukan
upacaraPawintenan khusus, antara lain Pawintenan di Bunga,
Pawintenan Mentah, Pawintenan Ranteng,dan Pawintenan
Mahawisesa. Kekhususan pada upacara Pawintenan untuk Pemangku tertentu
juga tampak pada jenis lontas yang ditempatkan di sanggar sebagai
sarana upacara pawintenan.
Misalnya, Pamangku menggunakan Lontar
Kusumadewa dan Sangkul Putih,Dalang
menggunakan Lontar Dharma Pawayangan, sedangkan Balian menggunakan Lontar
Usadha. Sementara itu, upacara untuk menjadi
seorang Dwijati disebut upacara Padiksan atauMapodgala. Upacara Mediksa dilakukan
oleh Guru Nabe yang disebut Napak. Kemudian
dilanjutkan dengan upacara Ngelinggihang Puja atau Ngelinggihan
Weda, dalam waktu yang telah ditentukan oleh Guru Nabe karena
menandakan bahwa sang Wiku/Pandita telah diperkenankan
untuk muput karya. Seorang Wiku/ Pandita yang
telah Ngelinggihan Puja sudah berwenang melaksanakan Loka
Palasraya atau pelayanan kepada umat, baik dalam hal muput
karya atau dengan memberikan pencerahan keagamaan.
(3) Pitra Yajna
Upacara-upacara yang berhubungan
dengan Pitra Yajna sesungguhnya terdiri atas tiga upacara pokok,
yaitu perlakuan terhadap mayat, perlakuan terhadap tulang, dan perlakuan
terhadap arwah. Upacara terhadap mayat disebut sawa wedana atau
lebih populer disebut Ngaben.Upacara terhadap tulang disebut Asti
Wedana yang lebih populer disebut Ngasti. Sedangkan
pacara terhadap arwah dinamakan Atma Wedana yang lebih populer
disebut dengan Nyekah.
Upacara perlakuan terhadap mayat (Sawa
Wedana) dimulai dengan upacara Nyiraman Layon(memandikan
jenasah), Ngeringkes (membungkus jenazah) dengan upacara
sakral dan penuh simbolis sebagai persiapan akan pergi jauh (luas doh)
dan diharapkan pada saat kembali akan menjelma menjadi orang yang lebih baik.
Kemudian apabila mayat tidak langsung diupacarai dalam sistem Pangabenan maka
dilakukan upacara menitipkan mayat, baik dengan cara menanam (Makingsan di
Perthiwi) atau membakar (Makingsan di Gni). Karena diawali dengan
penitipan maka masa penitipan ini diakhiri dengan upacara Panebusan
(Nebusin) sebelum upacara Pangabenan dilaksanakan.
Setelah masa penitipan berlaku maka dilakukan upacaraPangabenan yang
pembukaannya diistilahkan dengan upacara Ngendag. Selanjutnya
dilaksanakan upacara antropomorfis dengan tema utpati, sthiti, dan pralina yang
disebutNgaskara. Upacara Ngaben disudahi dengan
upacara pembakaran (Ngeseng).
Upacara terhadap tulang diawali dengan
upacara mengambil tulang yang sudah terbakar dengan supit sehingga
dinamakan upacara Nyupit. Selanjutnya, tulang-tulang ini
diletakkan teratur sesuai dengan pembagian denah yang mewakili tiga bagian
tubuh manusia (tri sarira) sehingga upacara ini disebut Ngereka. Kemudian
tulang tersebut dihancurkan lalu dimasukkan ke dalam nyuh gading dalam
upacara Nguyeg. Setelah berbentuk Puspa Asthi maka
kini dilakukan upacara Ngirim yang disudahi dengan membuang
abu tulang (Nguncal) sesuai dengan tradisi, baik mengenai tempat
pembuangan maupun tata cara dalam rangka pembuangannya.
Setelah upacara Ngaben dan Ngasthi dilaksanakan
maka kini dilakukan upacara Nyekah sebagai upacara
penyucian Atma (Atma Wedana). Diawali dengan membuat perwujudan atma dengan
menggunakan bermacam-macam bunga sehingga upacara ini mendapat nama upacaraNyekah. Perwujudan atma ini
dinamakan sekah atau Puspa sarira, sedangkan
upacara mewujudkan Puspa Sarira dinamakan upacara Ngajum. Selanjutnya
dilaksanakan upacaraNgutpati, Nganyut, dan Nyegara-Gunung. Upacara nyekah menurut
tingkatannya ada beberapa macam, antara lain Nyekah, Maligya,
Ngeluwer. Setelah semua upacara ini selesai maka puncak dari
upacara Pitra Yajna adalah men-sthana-kan arwah (Dewa
Pitara) di Sanggah Kemulan yang dikenal dengan nama Ngelinggihang
Dewa Hyang. Secara filsafati, pitra yang dipuja
di Sanggah Kemulan (rong telu) adalah Dewa
Siwa dalam wujudnya sebagai Pitara, atau Siwa
Pitaram Rupam.
Dalam kehidupan nyata di dunia ini,
upacara Pitra Yajna semestinya tidak hanya dimaknai dengan
bentuk upacara kematian. Akan tetapi Pitra Yajna dapat
dilakukan pada saat orang tua masih hidup, yaitu dengan memberikan pelayanan,
penghormatan, dan membahagiakan kehidupan Beliau. Semua pendahulu yang telah berjasa
pada manusia sesungguhnya adalahpitara, yang oleh umat Hindu di
Bali disebut Bhatara, patut untuk dihormati.
(4) Manusa Yajna
Upacara Manusa Yajna pada
dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan manusia, yaitu
dengan menyucikan setiap tahap perkembangan manusia mulai dari proses
pembuatan, bayi dalam kandungan, kelahiran, dari perkembangan sampai meninggal.
Upacara perkawinan sebagai langkah awal
untuk meneruskan keturunan merupakan fondasi penting untuk membentuk anak
yang suputra. Dalam upacara perkawinan yang terpenting
adalah mekala-kalaan, yang pada hakikatnya bertujuan untuk
menyucikan spermatozoa (sukla) dan sel telur (swanita). Dengan
pembersihan ini diharapkan agar sukla-swanita yang bertemu
menghasilkan bibit yang berbobot. Kemudian dilanjutkan dengan upacara bayi
dalam kandungan yang pada prinsipnya membentuk diri sang bayi sehingga menjadi
anak yangsuputra. Upacara dalam kandungan sampai bayi lahir secara
garis besar meliputi, nelubulanin(kandungan berumur 3 bulan), pagedong-gedongan (kandungan
berumur tujuh bulan). Saat bayi lahir ada upacara rare wawu embas (bayi
lahir), kepus pungset (lepasnya ari-ari), tugtug
kambuhan (bayi umut 42 hari), nigangsasihin/nyambutin (bayi
umur 3 bulan), mapetik(mencukur rambut pertama kali), otonan (bayi
berumur 1 oton), tumbuh untu (tumbuh gigi),maketus (gigi
tanggal pertama), rajasinga dan rajasewala (laki-laki/perempuan
meningkat dewasa), matatah/mepandes (potong gigi), dan pawiwahan (perkawinan).
Upacara manusa yajna dilakukan
secara terus menerus setiap hari kelahiran disebut denganotonan. Di
samping itu secara sosiologis, manusa yajna adalah menghargai
sesama manusia, memberikan pelayanan terhadap sesama karena melayani sesama
manusia sama artinya dengan melayani Tuhan (Manawa Sewa, Madhawa Sewa).
Dengan demikian upacara manusiayajna bukan saja berbentuk ritual,
tetapi dapat diaplikasikan dalam wujud yang lebih nyata dalam hidup
sehari-hari.
(5) Bhuta Yajna
”Ikang Bhuta Ngarania Kapujaning ring
atuwuh” (yang
dimaksud Bhuta Yajna adalah kurban untuk seluruh makhluk
hidup). Menurut Lontar Sundarigama tersebut bahwa yang dimaksud dengan Bhuta
yajna, bukan hanya terhadap jenis makluk gaib (bhuta kala),
melainkan seluruh alam semesta ini untuk menghadirkan keselarasan,
keseimbangan, dan keharmonisan alam. Oleh sebab itu tergolong dalam
upacara bhuta yajna antara lain mecaru (menurut
jenis dan tingkatannya), sad kertih (manusa kertih, atma
kertih (dilaksanakan dalam upacara Pitra Yajnadan Manusa
Yajna), danu kertih, bhuwana kertih, samudra kertih, dan wana
kertih), dan semua upacara tumpek (tumpek bubuh, tumpek
kandang, tumpek landep, tumpek wayang, dan tumpek kuningan).
Upacara Bhuta yajna yang
rutin dilaksanakan di Bali adalah segehan, mulai dari segahan
kepel putih dengan lauk bawang, jahe, sampai dengan segahan
agung yang menggunakan penyamblehyang pada umumnya
berupa siap selem (ayam hitam). Kemudian caru yang
berdasarkan jenis dan tingkatannya meliputi Eka sata, Panca sata, Panca
sanak, Panca Kelud, dan caru Rsigana. Caru dalam
wujud yang lebih besar disebut dengan Tawur. Perbedaannya
adalah Tawur selalu menggunakan minimal kebo sebagai wewalungan yang
harus dipersembahkan. Tawur menurut tingkatannya
meliputi Tawur Balik Sumpah, Tawur Labuh Gentuh, Tawur Panca Wali
Krama, danTawur Eka Dasa Ludra.
Desa Pakraman sebagai Pelaksana Panca
Maha Yajna
Pada hakikatnya, semua yajna yang
dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali khususnya merupakan jalan untuk
menciptakan hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam
lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruan
aspek Tri Hita Karana ini diimplementasikan dalam kehidupan
Desa Pakraman, yang ditandai dengan adanya Kahyangan Tiga.
Wilayah Desa pakraman dibagi
dalam tiga wilayah (Tri Mandala), yaitu uttama
mandala, madhya mandala, dan nista mandala. Uttama
Mandala adalah adanya Parahyangan (Kahyangan Tiga)
diyakini sebagai wilayah sakral. Madhya Mandala adalah
pemukiman, yaitu wilayah yang berada antara sakral dan profan, sakral ditandai
dengan adanya pamerajan, profan karena menjadi tempat
aktivitas rumah tangga. Nista Mandala adalah pekarangan,
sawah, teba, dan sebagainya, merupakan wilayah profan, tempat
manusia melakukan aktivitas pekerjaan untuk melanjutkan kehidupannya. Desa
Pakraman sebagai satu kesatuan wilayah parahyangan, pawongan, dan palemahan merupakan
wadah pelaksanaan agama Hindu dan kebudayaan Bali, serta menjadi filter bagi
masuknya kebudayaan asing.
Oleh karena Desa Pakraman adalah suatu
kesatuan adat yang didalamnya mengatur sekelompok masyarakat adat, maka
diperlukan aturan adat yang disebut awig-awig. Pada
prinsipnya awig-awig desa adat mengatur tiga hal utama,
yaitu Sukertaning Parahyangan, Sukertaning Pawongan, dan Sukertaning
Palemahan. Dengan demikian jelas bahwa Desa Pakraman bertujuan
mewujudkan kebahagiaan krama dengan melaksanakan aturan-aturan
yang baik (sukerta) terkait dengan pelaksanaan kegamaaan,
kemasyarakatan, dan lingkungan. Dalam hal keagamaan, Desa Pakraman merupakan
tempat pelaksanaan Panca Maha Yajna.Dalam hal kemasyarakatan, Desa
Pakraman merupakan wadah hidup bermasyarakat, dengan dasar paras paros
sarpanaya, sagalak sagilik salunglung sabayantaka. Dalam hal palemahan Desa
Pakraman merupakan institusi yang menjaga tetap terpeliharanya konsep Tri
Mandala.Mengingat keseluruhan Panca Maha Yajna sebagai
identitas keberagamaan Hindu di Bali dilaksanakan dalam kehidupan Desa
Pakraman, maka eksistensi Desa Pakraman sangat signifikan bagi Agama Hindu dan
Kebudayaan Bali.
Posted by 21.53 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anybody is welcome to join tanpa membedakan latar belakang suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, usia, orientasi seksual, dan difabelitas.